PENDIDIKAN HOLISTIK
Holistisk berasal dari kata whole atau menyeluruh. Pendidikan holistik dimaksudkan agar orang berkembang secara menyeluruh, baik dari aspek kognitif, motorik, emosional, maupun spiritualnya. Trend pendidikan internasional sudah pendidikan holistik.
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Secara historis, pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru. Beberapa tokoh klasik perintis pendidikan holistik, diantaranya : Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer. Berikutnya, kita mencatat beberapa tokoh lainnya yang dianggap sebagai pendukung pendidikan holistik, adalah : Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner, Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire.
Pemikiran dan gagasan inti dari para perintis pendidikan holistik sempat tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan paradigma kultural pada tahun 1960-an. Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untuk menggali kembali gagasan dari kalangan penganut aliran holistik. Kemajuan yang signifikan terjadi ketika dilaksanakan konferensi pertama pendidikan Holistik Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979, dengan menghadirkan The Mandala Society dan The National Center for the Exploration of Human Potential. Enam tahun kemudian, para penganut pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar pendidikan holistik dengan sebutan 3 R’s, akronim dari relationship, responsibility dan reverence. Berbeda dengan pendidikan pada umumnya, dasar pendidikan 3 R’s ini lebih diartikan sebagai writing, reading dan arithmetic atau di Indonesia dikenal dengan sebutan calistung (membaca, menulis dan berhitung).
Pendidikan bukanlah (hanya) transfer of knowledge (transfer pengetahuan)
Ada sebuah penelitian di Amerika Serikat yang melaporkan bahwa, peran otak kiri, yang berkaitan dengan logika dan intelektual, pada keberhasilan seseorang dalam mencapai kesuksesan hanya 4%. Porsi terbesar untuk mencapai kesuksesan yakni 96% didominasi peran otak kanan yang berkaitan dengan kreativitas dan inovasi.
Sayangnya, pola pendidikan yang dapat membantu perkembangan otak kanan kurang diperhatikan di Indonesia. Oleh karena itu, pengembangan emosi dan kepribadian yang dapat menuntun seseorang menjadi manusia arif dan bijaksana menjadi terlalaikan. Padahal, untuk bisa membangun suatu bangsa yang kuat diperlukan orang yang tidak hanya berintelektual tinggi, tetapi juga peka terhadap kondisi yang terjadi. Selain itu, bangsa Indonesia pun memerlukan orang yang punya kebijaksanaan tinggi untuk dapat menghadapi segala persoalan dengan tepat. Keseimbangan antara fungsi otak kiri dan otak kanan sangat ditentukan oleh pola pendidikan jenis apakah yang diterima seorang murid.
Pendidikan di Indonesia cenderung lebih mengarah pada transfer of knowledge daripada pendidikan dalam arti membimbing seorang anak didik menjadi manusia yang mengenal dirinya sendiri dan peka terhadap apa yang terjadi dengan lingkungan sekitar dirinya.
Dalam undang-undang RI (Nomor 20 tahun 2004) tentang Sistem Pendidikan Nasional, arah pendidikan pada Bab II Pasal 3 sebenarnya sudah secara eksplisit menguraikan tujuan membangun manusia holistic : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatf, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.
Pelbagai potensi manusia yang perlu dikembangkan
Dalam menjabarkan tujuan pendidikan nasional tersebut perlu ada pengklasifikasian aspek potensi-potensi manusiayang perlu dikembangkan. Aspek-aspek tersebut adalah sbb :
1. Aspek Fisik : menyangkut perkembangan motorik halus dan kasar, juga menjaga stamina dan kesehatan
2. Aspek emosi : Menyangkut kesehatan jiwa; mampu mengendalikan stress, mengontrol diri dari perbuatan negatif, percaya diri, berani mengambil resiko, dan mampu berempati.
3. Aspek sosial : belajar menyenangi pekerjaannya, bekerja dalam tim, pandai bergaul, peduli pada masalah social dan berjiwa social, bertanggungjawab, menghormati orang lain, mengerti akan perbedaan budaya dan kebiasaan orang lain, serta mematuhi segala peraturan yang berlaku.
4. aspek kreativitas : mampu mengekspresikan diri dalam berbagai kegiatan produktif (seni, musik, pikiran, dsb), serta mencari solusi tepat bagi berbagai masalah.
5. Aspek spiritual : mampu memaknai arti dan tujuan hidup dan mampu berefleksi tentang dirinya, mengetahui misinya dalam kehidupan ini sebagai bagian penting dari sebuah sistem kehidupan, dan selalu bersikap ta’dzim kepada seluruh ciptaan Tuhan.
6. Aspek akademik atau intelektual : berpikir logis, berbahasa, dan menulis dengan baik; selain itu dapat mengemukakan pertanyaan kritis dan menarik kesimpulan dari berbagai informasi yang diketahui.
Pendidikan Holistik berbasis budaya Nusantara
Pendidikan holistik adalah pendidikan yang bertujuan memberi kebebasan anak didik untuk mengembangkan diri tidak saja secara intelektual, tapi juga memfasilitasi perkembangan jiwa dan raga secara keseluruhan sehingga tercipta manusia Indonesia yang berkarakter kuat yang mampu mengangkat harkat bangsa. Mewujudkan manusia merdeka seperti ungkapan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, "Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri."
Bila sekarang Pendidikan Barat memperkenalkan istilah PQ, IQ, EQ, SQ, tapi Budaya Nusantara mengenal istilah Sembah Raga, Sembah Rasa dan Sembah Cipta dari karya agung Kitab Wedhatama karya KGPA Mangkunegara IV sejak abad ke-19. Tentu saja semua konsep itu telah lebih dulu lahir dan terangkum dalam nilai-nilai Ke-Islaman yang menjadi pijakan hidup umat Islam.
Pendidikan yang baik akan menempa seorang siswa agar mampu hidup mandiri tanpa tergantung orang lain dan sebenarnya, negara Indonesia tidak perlu mengadopsi kurikulum pendidikan bangsa lain, yang belum tentu cocok diterapkan di Indonesia, tapi cukup mengembangkan sistem
pendidikan nasional yang mampu membentuk karakter manusia Indonesia seutuhnya. Salah satunya adalah Pelajaran Budi Pekerti seperti yang pernah diterapkan dalam kurikulum nasional oleh Bapak Ki Hajar Dewantara, pendiri Perguruan Taman Siswa. Prinsip dasar dalam pendidikan Taman Siswa yang sudah tidak asing di telinga kita adalah: 1. Ing Ngarso Sung Tulodo (di depan kita memberi contoh), 2. Ing Madya Mangun Karso (di tengah membangun prakarsa dan bekerja sama), 3. Tut Wuri Handayani (di belakang memberi daya-semangat dan
dorongan). Inilah pendidikan holistik berbasis budaya Nusantara yang perlu dikembalikan semangat dan kearifannya bagi pendidikan siswa-siswa, generasi penerus bangsa.
Pendidikan harus mempersiapkan individu agar cakap hidup pada zamannya, mampu menghadapi dunia yang penuh tantangan dan cepat berubah. Proses pendidikan harus dapat membentuk manusia utuh berwawasan holistic, yang seluruh potensinya berkembang secara optimal (whole person). Manusia seperti ini adalah pembelajar sejati yang selalu sadar bahwa dirinya adalah bagian dari sebuah sistem kehidupan yang luas (the person within a wole). Dia selalu ingin memberikan kontribusi positif (added value atau beramal shalih) kepada lingkungannya, baik social, ekonomi, budaya, maupun alam. Pendidikan ditujukan untuk membangun seluruh dimensi manusia, yaitu untuk membangun dimensi social, emosional, motorik, akademik, spiritual, kognitif, sehingga membentuk insane kamil.
Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya (Basil Bernstein).
Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow, maka pendidikan harus dapat mengantarkan peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (self-actualization) yang ditandai dengan adanya: (1) kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau kemandirian; dan (4) kepercayaan.
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, diantaranya: (1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu, (4) pembelajaran yang bermakna, dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada (termasuk alam sekitar/lingkungan)
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas guru untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan guru lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Forbes (1996) mengibaratkan peran guru seperti seorang teman dalam perjalanan yang telah berpengalaman dan menyenangkan. Sekolah menjadi tempat peserta didik dan guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama dari pada kompetisi.
Prinsip-prinsip Pendidikan Holistik.
Untuk mencapai tujuan membangun manusia holistik, kita perlu memakai konsep pendidikan holistik seperti yang dicetuskan dalam Kesepakatan Education 2000 : A Holistic persfektive. Intisari kesepakatan tersebut adalah bagaimana sistem pendidikan dapat :
1. Mengajarkan para siswa kesadaran penuh bahwa setiap aspek dalam kehidupan saling terkait. Sehingga dapat menjalani kehidupan dengan produktif, damai dan berkelanjutan, karena setiap tindakan individu akan berdampak paad lingkungannya.
2. Mendidik para siswa seluruh aspek dimensi manusia.
3. Menghargai bahwa setiap manusia mempunyai kelebihn masing-masing sehingga tidak bisa disamakan.
4. Mendidik siswa untuk berpikir secara holistik yang mecakup intuisi, konteks, kreativitas, dan aspek fisik.
5. Memberikan lingkungan pembelajaran yang kondusif karena pembelajaran adalah sebuah proses yang aktif, termotivasi dari dalam, mendukung dan menggairahkan spirit manusia.
6. Menggunakan kurikulum holistik (inter disclipinery) yang mengintegrasikan komunitas dengan persepektif global. Dalam pendidikan holistik, guru harus memahami banyak hal karena memerlukan pelbagai metodologi, seperti brain active lesrning, fun learning/joyful learning, concret learning, contextual learning, experiental learning, pendidikan karakter, tahapan perkembangan mental, dan moral anak.
7. Membentuk manusia holistik dilakukan oleh banyak negara. Misalnya, departemen pendidikan di Jepang ( monbusko) sejak tahun 1988 telah merevisi sistem pendidikan yang ditujukan untuk “ creative, and able to express them selves,” (kreatif, berpikir filosofis, mampu menilai dan mengambil keputusan, dan dapat mengekspresikan dirinya) tujuan ini dianggap tepat untuk mempersiapkan anak didik agar mampu menghadapi tantangan dimasanya kelak.
Sementara itu, ministry of education of british Columbia, Canada, pada tahun 2000, mencanangkan tujuan pendidiakn untuk mengembangkan aspek aspek estetika dan kesenian, emosi dan sosial, intelektual, fisik dan kesehatan, juga tanggung jawab sosial.